Tahun 2018 adalah tahun hajatan Nusa Tenggara Barat (NTB) memilih pemimpinnya. Di beberapa kabupaten akan memilih bupati-wakil bupati, dan untuk provinsi Masyarakat akan memilih gubernur-wakil gubernurnya. Bakal calon mulai bermunculan di jalan-jalan, bentangan spanduk dan baliho berisi gambar bakal calon adalah menu wajib bagi tim sukses untuk memperkenalkan pasangan yang diusungnya. Jika pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dianalogikan sebagai pesta demokrasi, maka calon-calonnya adalah hidangan pestanya, masyarakat sebagai tamu undangan, dan KPU sebagai panitia pesta.
Berbicara masalah hidangan politik, maka pilihannya tergantung selera. Selera politik adalah cerminan kondisi politik yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan (misalnya memilih kepala daerah), para ahli sering menyebutnya sebagai perilaku politik (political behavior). Pengalaman pesta demokrasi diberbagai daerah, menunjukkan suatu kecendrungan bahwa seorang calon dipilih bukan lagi karena selera partai pendukung(ideologi),namun lebih ke selera masyarakat dengan rasionalitas tertentu (pemilih rasionel). Artinya, ada pergeseran paradigma perilaku politik dari memilih SIAPA ke memilih APA. Memilih siapa lebih ke arah dukungan karena kedekatan atau faktor x lain yang berpengaruh secara emosional, sedangkan memilih apa lebih ke arah dukungan karena visi dan misi apa yang ditawarkan.
Tanpa mengesampingkan faktor siapa, faktor apa menarik untuk dicermati. Visi apa yang ditawarkan calon mencerminkan ke arah mana NTB akan dibawa. Salah satu isu menariknya adalah terkait dengan kemakmuran-kelingkungan, dalam hal ini diistilahkan sebagai visi econom-environment. Visi yang mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan beban ekologis, ahli juga sering menyebutnya sebagai pembangunan berkelanjutan. Di NTB, masalah pertambangan, kerusakan hutan, sampah, dan krisis air bersih merupakan dampak pengiring yang sering muncul dari eksploitasi ekonomi yang berlebihan. Singkatnya seorang calon pemimpin tidak hanya cerdas secara ekonomi tetapi juga memiliki keberpihakan pada lingkungan, political will-nya mengarah pada green politics (politik hijau). Ada enam prinsip politik hijau: kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, tanpa kekerasan, keberlanjutan dan penghargaan atas perbedaan. Pemimpin yang menggunakan politik hijau, dalam oponi ini diistilahkan sebagai PEMIMPIN HIJAU.
Mengintegrasikan prinsip politik hijau kedalam rencana pembangunan daerah memerlukan wawasan spasial. Geografi menyebutnya sebagai kecerdasan spasial, sederhananya seorang pemimpin dituntut untuk mengerti bagaimana perwilayahan, zonasi dan deleniasi peruntukan ruang. Pemimpin ibarat dokter, jika zonasi peruntukan ruangnya salah, maka ibarat memberi obat yang salah pada pasien. Untuk menjadi Pemimpin Hijau, kalangan geograf menyarankan penguasaan instrumen peta wilayah dan data spasial. Instrumen keduannya adalah senjata penting bagi pemimpin dalam mengakomodir prinsip politik hijau ke dalam rencana pembangunan daerah. Konsep kuncinya adalah, setiap wilayah memiliki potensi dan masalah yang berbeda, karenanya diperlukan kebijakan dan rencana pembangunan yang berbeda pula. Dengan konsep kunci tersebut, beban ekonomi dan beban ekologis dapat diletakkan secara proporsional dalam suatu wilayah.
Dalam konteks PILKADA NTB, sosok calon Pemimpin Hijau perlu dimunculkan. Siapakah orangnya?, masyarakat yang akan menunggu, melihat dan menilai. Walaupun belum jelas, setidaknya pada baliho dan spanduk yang bertebaran di mana-mana, sisipkanlah pesan lingkungan, pesan sosial, pesan kearifan, dan pesan keadilan. Penyampaian pesan adalah bentuk edukasi politik yang akan membentuk pemahaman, dan akan berdampak pada bergesernya selera politik masyarakat. Mari bersama mencermati, siapakah mereka?.
Komentar